JAKARTA : GURU YANG SANGAT BERHARGA


            Setelah gagal 2 kali dalam tes SPMB Polstat STIS, akhirnya ditahun 2022 saya dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa baru Angkatan LXIV. Dengan rasa bangga, haru, excited dan ada sedikit rasa cemas, akhirnya saya berangkat ke Jakarta untuk menempuh Pendidikan di kampus Impian saya tepatnya di Jl. Otto Iskandardinata No.64 C, Jakarata Timur.

            Pertama kalinya menginjakkan kaki di Jakarta saya cukup kaget atau merasakan culture shock, hal itu dikarenakan mobilisasi yang sangat cepat dan tinggi. Sedikit cerita, 2 tahun lalu saya pertama kali ke Jakarta dari Bandung naik Kereta Api dan turun di Stasiun Jatinegara. Disaat saya mau keluar dari stasiun menuju halte pemberhentian taxi online, di tangga pintu keluar saya tiba-tiba dibentak oleh salah seorang ibu-ibu. Jujur saya sangat kaget karena saya merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa terhadap beliau, sambil membentak dan beliau mengatakan “ Jalannya dipercepat dong, ini bukan tangga pribadi kamu” seketika saya kaget sambil mikir, perasaan tadi saya jalannya biasa saja kok, tidak lambat. Dari situ saya sadar bahwa mobilisasi di Jakarta sangat berbeda dengan daerah lainnya, terutama dengan saya yang basicnya lahir dan dibesarkan di pedesaan.

            Seiring berjalannya waktu, saya sudah mulai terbiasa dengan mobilisasi yang ada di Jakarta dan sudah paham mengapa orang-orang yang ada di sini, khususnya di pemberhentian transportasi umum seperti Halte dan Stasiun, seolah-olah semuanya berpacu dalam waktu, karena jika telat 1 menit saja, kereta ataupun transjakarta bisa lewat dan harus menunggu dalam waktu yang bisa dibilang cukup lama.

            Selain sudah terbiasa dengan mobilasi yang tinggi dan cepat, 2 tahun di Jakarta sudah cukup menjadikan saya menjadi anak yang mandiri. Hidup jauh dari orangtua dan keluarga memaksa diri ini untuk bisa berdiri di kaki sendiri. Dulu, sebelum merantau dan masih sekolah di kampung halaman, semuanya serba dipersiapkan oleh orangtua, mulai dari seragam sekolah, peralatan tulis, bekal makan siang semuanya dipersiapkan dengan baik oleh orangtua, sehingga kita hanya perlu mempersiapkan badan kita. Akan tetapi setelah merantau, semua hal itu tidak dapat lagi saya rasakan, saya harus benar-benar bisa seperti apa yang orangtua saya lakukan, mulai dari mempersiapkan seragam kuliah, mencuci pakaian, menjemur pakaian, dan sangat banyak hal lainnya yang mau tidak mau harus saya lakukan.

            Awalnya, semua hal-hal itu menjadi beban kepada saya, seperti harus bangun pagi tanpa dibangunin orangtua, harus mencuci pakaian 2 kali dalam seminggu, harus membersihkan kamar kost an, harus mengganti sprei kasur setiap minggu, harus mengatur keuangan dengan baik agar uang bulanan yang diberikan orangtua cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tiga bulan pertama di Jakarta rasanya hal itu berat dilakukan dan merasa itu adalah sebuah beban. Tetapi seiring berjalannya waktu semua hal-hal tersebut tidak lagi menjadi beban kepada saya, melainkan sudah menjadi bagian dari daily activity yang secara default sudah saya ingat dan lakukan tanpa ada rasa beban sedikitpun. Ya… walaupun sesekali nangis sih karena rindu masakan ibu dan rindu teriakan mamak-mamak bataknya kalau saya telat bangun. Tapi dengan rasa yakin dan bangga saya menyatakan bahwa saya resmi menjadi anak rantau Jakarta yang mandiri.

Selain menjadi anak yang mandiri, merantau di Jakarta juga banyak mengubah pola pikir saya, bisa dibilang 2 tahun di Jakarta menjadikan saya menjadi pribadi yang open minded. Semenjak tinggal di Jakarta saya lebih terbuka terhadap berbagai macam ide, gagasan dan culture. Sehingga dengan menjadi pribadi yang berpikiran terbuka sedikit banyaknya membantu saya menjadi lebih kritis dan rasional dalam beberapa hal. Sebagai contoh, dulu sewaktu tinggal di kampung halaman, saya berpikir bahwa memakai skincare merupakan aktivitas yang hanya dilakukan kaum Perempuan saja, akan tetapi semenjak merantau dan banyak membaca, ternyata memakai skincare merupakan hal yang wajar dan sangat disarankan untuk semua gender bahkan untuk semua kalangan umur untuk menjaga Kesehatan wajah dan mencegah penuaan dini. Contoh lainnya, sebelum saya merantau. Saat melihat orang-orang ada di kendaraan umum, KRL misalnya. Ketika saya melihat pria duduk di kursi, sementara ada Wanita yang berdiri, saya merasa pria tersebut egois dan tidak gentle man. Akan tetapi semenjak saya di Jakarta dan merasakannya, saya tidak lagi berpikiran seperti itu, karena saya sudah merasakan bagaimana lelah dan letihnya seharian beraktivitas dan harus berperang lagi di dalam kendaraan umum, jadi mau Perempuan ataupun laki-laki berhak mendapatkan kursi. Selagi mereka bukan bagian dari kursi prioritas, kita tidak perlu merasa bersalah. Tapi itu balik lagi ke pribadi masing-masing sih.

Selain hal-hal di atas, merantau di Jakarta juga membantu saya menemukan beberapa life hack yang menurut saya sangat berguna dalam keberlangsungan hidup anak rantau, sebagai contoh membawa botol minum kemanapun saat bepergian. Semenjak tinggal di Jakarta, membawa botol minum merupakan sebuah kewajiban bagi saya. Baik itu Ketika Olahraga, ngampus, bahkan main ke mall sekalipun. Selain hemat untuk pengeluaran minum, membawa botol minum dapat menghindari saya dari minuman-minuman yang kurang sehat seperti minuman tinggi gula dan pengawet.

Merantau di Jakarta juga membuat saya menjadi pribadi yang bodo amat. Dulu sewaktu tingggal di kampung halaman, saya terlalu memikirkan perkataan/ opini orang yang menjadi alasan saya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari agar diterima sesuai standar masyarakat dan lingkungan. Standar yang diminta biasanya tidak jauh dari status akan berbagai bidang kehidupan seperti asmara, materi, hingga fisik yang seolah-olah jika kita tidak bisa memenuhi standar tersebut, hidup kita terkesan menyedihkan di mata mereka.

Faktanya, setelah merantau di Jakarta saya menyadari bahwa standar yang ada dan opini orang-orang bukanlah sebuah barometer dalam menjalankan kehidupan yang bermakna dan Bahagia, karena jika kita mengikuti standar orang-orang tersebut maka di dalamnya hanyalah berupa tekanan yang tiada habisnya. Bayangkan saya, saat kita sudah memenuhi satu standar yang ada, seperti menikah, tidak lama kemudian opini menekankan kita untuk segera memiliki anak, dan terus berlanjut hingga tidak ada ujungnya. Tidakkah mereka berpikir bahwa menikah itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit? Tidakkah mereka berpikir bahwa tugas mempunyai seorang anak bukanlah hanya sekedar mengemong? Melaikan harus mempersiapkan mental serta finansial yang cukup dan stabil. Oleh karena itu diperlukan sikap bodoamat untuk melindungi diri kita dari standar serta opini-opini orang yang bisa dibilang merupakan mindset yang sempit dan tidak relevan bagi semua orang sehingga tidak dapat dipukul rata. Namun, bodo amat yang saya maksud bukan berarti cuek dalam segala hal atau apatis, tapi kita hanya tidak memedulikan hal yang kurang berguna dan malah membuat kita merasa tertekan.

Mungkin hal-hal atau perubahan yang saya ceritakan di atas memiliki dampak positif dan negatif. Akan tetapi semenjak saya merantau di Jakarta saya bertekad hanya untuk berbuat hal-hal baik yang dapat menunjang perkuliahan saya dan membantu saya survive di Jakarta yang kata orang-orang merupakan kota yang keras. Mungkin selama perjalanan saya menjadi perantau di sini, saya banyak melakukan kesalahan. Akan tetapi saya selalu berusaha menjadi pribadi yang baik, agar dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu dan kelak menjadi ASN yang bertanggung jawab serta dapat membahagiakan Ibu, Adik-adik dan keluarga saya. Teruntuk semua anak rantau yang membaca blog ini, khususnya teman-teman kelas 2D31. Semangat berproses dalam menggapai cita-cita. Lelah itu hal yang wajar, tapi jangan sampai kehilangan arah, ya. Ada orangtua dan keluarga yang menanti kesuksesan kita.

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Bonus Demografi, Sumatera Utara menyiapkan Kesehatan Sumber Daya Manusia.

Pergeseran Budaya Akibat Pesatnya Kemajuan Teknologi